ISLAM DAN TASAWUF

21.28


 Pengertian dan Tujuan Tasawuf

Pengertian tasawuf yang di dalam bahasa asing disebut mystic atau sufism, berasal dari kata suf yakni wol kasar yang dipakai oleh seorang muslim yang berusaha dengan berbagai upaya yang telah ditentukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang melakukan upaya demikian disebut sufi dan ilmu yang menjelaskan upaya-upaya serta tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan dimaksud dinamakan ilmu tasawuf.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syari’ah secara lebih mendalam dalam rangka menemukan hakekat agama dan ajaran agama Islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari’ah dan hakikat sekaligus, shalat misalnya, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah kata dalam gerakan tertentu, tetapi adalah dialog spiritual antara manusia dengan Tuhan.
Ada 4 (empat) aliran tasawuf, yakni:

1.      Qadiriyah, aliran ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir al- Jailani (116 M). Menurut para pengikutnya, Abdul Qadir al-Jailani adalah orang suci. Kini yang menjadi pemimpin tarikat Qadiriyah adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad. Aliran ini berpengaruh di Afrika Utara, Asia Kecil, Pakistan, India, Malaysia dan Indonesia.
2.       Rifa’iyah, aliran ini didirikan oleh Muhammad ar-Rifa’i (1183 M). Tarikat Rifa’i terkenal dengan amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai bagian-bagian badan dengan senjata tajam diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu.
3.       Sammaniyah, aliran ini didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman. Riwayat hidup pendiri tarekat ini sangat terkenal dahuli di Jakarta. Cara mencapai tujuan akhir diantaranya adalah berdzikir dengan suara lantang.
4.      Syattariyah, aliran ini didirikan oleh Abdullah as-Syattari (1417 M). Aliran ini percaya pada ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah SWT. yang disebut dalam ilmu hakikat. Nabi Muhammad SAW. dilambangkan oleh aliran ini sebagai manusia sempurna (insan kamil) yang memantulkan kekuatan Illahi seperti cermin memantulkan cahaya. Pada aliran ini juga terdapat kepercayaan bahwa semua manusia mempunyai bakat untuk menjadi manusia sempurna dan harus berusaha untuk mencapai kesempurnaan itu. Dalam hubungan ini terdapat pandangan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT. seperti seorang pelayan dengan majikannya.
5.      Naqsyabandiyah, aliran ini didirikan oleh Muhammad an- Naqsyabandi (1388 M). Aliran ini menyelenggarakan dzikir tertutup atau dzikir diam yakni menyebut nama Allah SWT. dengan berdiam diri.


Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua sumber agama Islam itu penuh dengan nilai dan norma yang menjadi ukuran sikap dan perbuatan manusia apakah baik atau buruk, benar atau salah. Isi Al-Qur’an dan Al-Hadits penuh dengan akhlak Islami yang perlu diteladani dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari setiap muslim dan muslimat. Islam sebagai agama dan ajaran mempunyai sistem sendiri yang bagian-bagiannya saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Intinya adalah tauhid, yang berkembang melalui aqidah, dari aqidah mengalir syari’ah dan akhlak Islam.
Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat.
Station ini antara lain:
(1) taubat,
2) zuhud,
(3) sabar,
(4) tawakkal,
(5) ridha,
(6) mahabbah,
(7) ma’rifah,
(8) fana’,
(9) ittihad,
(10) hulul.

Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal.
Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut:
(1) muraqabah,
(2) khauf,
 (3) raja’,
(4) Syauq,
(5) Uns,
(6) tuma’ninah,
(7) musyahadah,
(8) yakin.

Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli (lihat gambar). Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.
Sejarah Munculnya Tasawuf
Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia.
Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya.
Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).
Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.
Diprediksi bahwa kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab; dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.
Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Pandangan Ummat Islam Terhadap Tasawuf

Mengenai asal-usul perkataan tasawuf para ahli berbeda pendapat. Di antara pendapat yang banyak itu, ada satu pendapat yang sering ditulis dalam buku-buku mengenai tasawuf di Indonesia. Pendapat itu mengatakan tasawuf berasal dari kata suf artinya bulu domba kasar. Disebut demikian karena orang-orang yang memakai pakaian itu disebut orang-orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan.
Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Banyak juga definisi yang diberikan untuk merumuskan makna yang dikandung oleh perkataan tasawuf.
Menurut at-Taftazani, tasawuf mempunyai 5 (lima) ciri, yaitu :
1. Memiliki nilai-nilai moral.
2. Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas mutlak.
3. Pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan hati) langsung.
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SWT. dalam diri sufi karena  tercapainya maqamat (beberapa tingkatan perhentian) dalam perjalanan sufi menuju (mendekati) Tuhan.
5. Penggunaan lambang-lambang pengungkapan (perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. (Ensiklopedi Islam, 1933: 73 – 75)
Tasawuf juga berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut :

1. QS. Al-Baqarah ayat 115 artinya :
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2. QS. Qaf ayat 16 artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
3. Hadits Riwayat Imam Bukhari, artinya :
Barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku (wali Allah SWT. adalah orang yang dekat dengan-Nya), maka aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku penglihatannya dengannya ia melihat, Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-KuAku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, Kulindungi ia”.
Sejak muncul paham widhatul wujud, tasawuf pecah menjadi dua aliran, yaitu aliran pertama, aliran tasawuf yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan aliran yang kedua, aliran fana yang disebut sebagai tasawuf falsafi, disebut demikian karena teori-teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur filsafat (Ensiklopedi Islam, 1992: 76 -77, 158 – 160).


Stasiun-Stasiun dalam Tasawuf untuk Mengakrabkan Diri dengan Allah SWT.
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh seorang hamba yang menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai “As-Sa’adah” menurut Imam Al-Ghazali dan “Insanul Kamil” menurut Muhyiddin bin ‘Arabiy, diantaranya sebagai berikut :
1.      Syari’at,
adalah hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah ditetapkan oleh ulama melalui sumber nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits atau dengan cara istimbat yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf. Isi syari’at mencakup segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah-perintah itu disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuatan yang hukumnya wajib atau fardhu, sunnah, mubah atau membolehkan. Sedangkan larangan-larangan dari Allah SWT. disebut dengan munkar yang meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Baik yang ma’ruf maupun munkar sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

2.      Tarekat,
adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan dari sikap mempermudah ibadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Kata tarekat dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi amaliah ibadah dan dari sisi organisasi (perkumpulan). Sisi amaliah ibadah merupakan latihan kejiwaan, baik yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama, dengan melalui dan mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan kerohanian yang disebut maqamat atau al-ahwal, yang mana latihan ini diadakan secara berkala yang juga dikenal dengan istilah suluk.
Sedangkan dari sisi organisasi maka tarekat berarti sekumpulan salik (orang yang melakukan suluk) yang sedang menjalani latihan kerohanian tertentu yang bertujuan untuk mencapai tingkat atau maqam tertentu yang dibimbing dan dituntun oleh seorang guru yang disebut mursyid.  
Adapun tingkatan maqam tarekat tersebut antara lain menurut Abu Nashr As-Sarraj adalah sebagai berikut :
a. Tingkatan Taubah
b. Tingkatan Wara’
c. Tingkatan Az-Zuhd
d. Tingkatan Al-Faqru
e. Tingkatan Al-Shabru
f. Tingkatan At-Tawakkal
g. Tingkatan Ar-Ridha


3.      Hakikat,
adalah suasana kejiwaan seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan tertentu sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya. Hakikat yang didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh  tarekat dengan melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dialami dan dihadapinya. Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan, yaitu :
a. ‘Ainul Yaqin, yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah SWT. sebagai penciptanya.
b. ‘Immul Yaqin, yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah SWT. pada alam semesta ini.
c. ‘Haqqul Yaqin, yaitu tingkatan keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah SWT. langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh seorang sufi melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan ma’rifat, di mana hakikat itu merupakan tujuan awal tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

4.      Ma’rifat,
adalah hadirnya kebenaran Allah SWT. pada seseorang sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan nur Ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan dalam akal pikiran. Barang siapa meningkatkan ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan hatinya.
Akan tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu sesorang yang sudah sampai pada tingkatan ma’rifat ini memiliki tanda-tanda tertentu, antara lain :
a.  Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.    
b. Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belumtentu benar.
c.   Tidak menginginkan nikmat Allah SWT. yang banyak baut dirinya, karena hal itu bisa membawanya pada hal yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seseorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan ma’rifat yang dimiliki cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.


Sumber :
www.tasawufislam.blogspot.com 


You Might Also Like

0 komentar

Pengikut

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Subscribe